Pages

Search This Blog

Sunday, January 10, 2016

Semua Akan Resign Pada Waktunya


Bekerja dengan maksimal, enggak perlu cari muka, pasti atasan pun akan suka melihat saya. Kalo seandainya atasan tidak melihat kinerja saya, minimal teman-teman sendiri yang akan menyadari kemampuan saya. Kalo justru divisi pun nggak menyadari kinerja saya, pasti perusahaan lain di luar sana akan melihat betapa berharganya saya untuk mereka.

Keep calm and just resign... :) :) :)
bekerja denakan melihat gan maksimal, gak perlu cari muka, pasti atasan pun akan melihat kinerja kamu. Kalau seandainya atasan kamu tidak melihat kinerjamu, minimal teman-teman kamu sendiri yang akan menyadari kemampuan kamu. Kalau justru divisi kamu gak menyadari kinerja kamu juga, pasti perusahaan lain di luar sana akan melihat betapa berharganya kamu untuk mereka”.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/bengkelopini/7-alasan-saatnya-memutuskan-resign_55359e7c6ea834b20ada42ce
bekerja dengan maksimal, gak perlu cari muka, pasti atasan pun akan melihat kinerja kamu. Kalau seandainya atasan kamu tidak melihat kinerjamu, minimal teman-teman kamu sendiri yang akan menyadari kemampuan kamu. Kalau justru divisi kamu gak menyadari kinerja kamu juga, pasti perusahaan lain di luar sana akan melihat betapa berharganya kamu untuk mereka”

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/bengkelopini/7-alasan-saatnya-memutuskan-resign_55359e7c6ea834b20ada42ce
bekerja dengan maksimal, gak perlu cari muka, pasti atasan pun akan melihat kinerja kamu. Kalau seandainya atasan kamu tidak melihat kinerjamu, minimal teman-teman kamu sendiri yang akan menyadari kemampuan kamu. Kalau justru divisi kamu gak menyadari kinerja kamu juga, pasti perusahaan lain di luar sana akan melihat betapa berharganya kamu untuk mereka”

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/bengkelopini/7-alasan-saatnya-memutuskan-resign_55359e7c6ea834b20ada42ce

Sunday, December 6, 2015

Faham

Malam itu biru. Aku memandangmu nanar dari ujung jalan. Kamu hanya menari tarian jenaka, taringmu menyeringai di sela gelak tawa. Desau angin membaur lebur dengan lirih nafasmu. Aku perempuan pilu, mataku sayu, menunggu diammu. Agaknya riuh air yang memercik dari ujung matamu tak menyurutkan tarianmu. Air yang kehilangan kesejukan bahkan sejak tetes pertamanya tercurah. Gurat perih luka, aku melihatnya tercecer dalam ingatanmu. Kamu membiarkannya membeku disana. Sekuat tenaga kutahan derap emosi yang membuncah untuk menemuimu. Tapi kupaku badanku agar tetap di tempatnya, karena aku telah menadah rindu pada telapak waktu.

Syarief, tak perlu menunggumu bercerita. Aku faham.

Coretan Akhir Tahun

Tahun 2015 segera berakhir. Terima kasih hari-hari yang sudah ngasi saya banyak pelajaran. Iya, 2015 itu an extraordinary year, tahun yang sangat sangat sangat beda dari tahun-tahun sebelumnya. Banyak cobaan yang kadang bikin saya hampir nyelesein dengan cara gila. Dulu kehidupan saya flat, nggak pernah ada masalah besar, hampir semua berjalan mulus semulus paha ayam. Sampe saya berpikir, Allah sayang sama saya ato justru nyuekin saya sih, membiarkan saya terhanyut dalam nikmatnya dunia. Tapi emang kita harus selalu khusnudzon. Semua hal terjadi, baik maupun buruk, itu karena Allah sayang.
 
Tapi di tahun ini banyak gejolak. Mungkin ini seninya hidup ya. Kalo belum kena masalah belum hidup kayaknya. Dulu saya berada di lingkungan yang insya Allah orangnya baik-baik, sampe saya nggak pernah takut buat naroh kepercayaan ke orang lain. Dan Alhamdulillah mereka nggak ada satu pun yang "aneh-aneh". Tapi sekarang saya ada di lingkungan yang dari segi tabiat, belum pernah berurusan sama orang-orang macem gini. Mungkin saya yang naif, nggak berpikiran kalo orang sanggup berbuat sedemikian brengseknya. Apapun itu ALHAMDULILLAH. Mungkin ini cara Allah buat menyentil saya. Saya yang selama ini gampang ngasih kepercayaan ke orang, sekarang dikasi peringatan biar tau nggak semua orang itu baik. Nggak semua orang itu tanggung jawab kalo dikasi kepercayaan. Biar tau di dunia ada juga orang yang amit-amit kelakuannya.
 
Nggak ada pertemuan yang sia-sia kok, pasti ada pelajaran buat naik level. Biar saya lebih kuat. Saya pernah denger kalimat ini, "Trust no one, you'll be happy." Mungkin ada benernya. Yeah I'll try..

Sunday, April 5, 2015

UNTITLED


Be like the flower that gives its fragrance to even the hand that crushes it.
- Ali Ibn Abi Talib -

Friday, March 20, 2015

Panti Pijat (Undercover?)

SALAM 'ALAIKUM !

Dua hari lalu saya menyempatkan diri mampir ke sebuah panti pijat di Semarang. Sakit? Enggak. Capek? Dikit. Karena saya sebenernya emang suka dipijat. Biasanya saya ke Aluna Homespa, atau manggil tukang pijat langganan ke rumah. Tapi kali ini saya pengen dipijat yang bener-bener errrgghhhh. Jadilah saya ke panti pijat.

Dulu kesitu direkomendasiin sama Upik Rahmawati. Berhubung dia alim jadi saya percaya panti pijat yang ini nggak bakal aneh-aneh. Di luar juga terpampang banner dengan tulisan "RUANGAN MEWAH", yah..walaupun kenyataan di dalam nggak mewah-mewah amat. Jadi saya pikir mungkin tamu-tamunya orang menengah ke atas. Akhirnya sore itu untuk kesekian kalinya saya mampir.

Nggak seperti biasa, mbak-mbak terapis yang memijat saya waktu itu cukup humble dan agak ceriwis. Dia banyak cerita tentang pofesinya, suka dukanya jadi pemijat. Saya lebih suka yang kaya begini nih, dipijat sambil ngobrol. Bukan dipijat sama orang yang cemberut mulu. Hihi.

"Pulang kerja ya mbak?" tanyanya mengawali obrolan.
"Enggak mbak, lagi bolos aja ada urusan tadi."
"Ooo..kerja dimana emang?" And the blah blah blah.

Obrolan berlanjut seputar gaji. Dia cerita kalau gajinya tak tentu. Satu jam dia memijat dihargai 7.000 perak!! Can you imagine? Disitu sejam Rp 52.500, dan si pemijat dikasih 7.000 nya aja. Saya pun bertanya, "Emang sehari biasanya dapet berapa jam?" Sekitar lima atau enam, jawabnya. Dan itu dari jam sepuluh pagi sampai sepuluh malam. Wow, 12 jam kerja.

Disitu saya agak penasaran. Apa yang membuat mereka betah kerja 12 jam dengan gaji yang bisa dibilang GAK WORTH IT.  "Betah gitu mbak? Nggak capek?" Pertanyaan demi pertanyaan mengalir begitu saja dari bibir saya, tanpa keengganan (gayanya udah kayak investigator haha). Dan Mbak Wita (bukan nama asli) menjawab luwes tanpa sungkan. Hingga kami terlibat obrolan yang lebih dalam, dalam, dan dalam lagi.

"Biasanya ada yang minta diituin. Trus kita dikasi tip." Ternyata mereka betah kerja disitu karena ada 'gaji-gaji siluman'.
"Atasan tau?" tanya saya penasaran.
"Ya nggak lah mbak. Disini bersih sebenernya, aturannya juga ketat. Tuh sekat-sekatnya aja bolong bawahnya. Itu sering ada yang piket lewat buat ngecek kita dari luar. Kalo kaki kita nggak keliatan suka dicurigai macem-macem."
"Lah kalo misal mbak lagi nginjek-nginjek pelanggan gimana? Kan emang kakinya nggak keliatan."
"Tuh di atas ada pegangan. Kalo lagi nginjek-nginjek, tangannya harus pegangan."
"Lah kalau kebetulan lagi mijitin yang sisi kanan, gimana hayo?"
"Ya kan paling sebentar, nggak di kanan terus. Kalo nggak keliatan kakinya sampe lama ya kadang dimasukin ruangannya."
"Pernah ada yang ketahuan?"
"Pernah. Ya terus dipecat."

Sambil menahan sakit pijatan Mbak Wita, saya mulai berpikir. "Haduh saya sekarang lagi ada di tempattt.....ah sudahlah." Sambil terus memijat kaki saya, Mbak Wita dengan lancarnya bercerita seolah membagi beban yang dipendamnya sejak lama. Saya sendiri heran. Di resepsionis, saya bilang mau dipijat yang nggak terlalu kenceng. Dan tadi waktu saya kesakitan, Mbak Wita bilang kalau dia spesialis yang tingkat kekencangannya tinggi. Yasalam.
"Yah gimana lagi Mbak. Kalo nggak gini, gaji segitu nggak masuk. Buat kehidupan sehari-hari masih kurang."
"Suaminya?"
"Suamiku kerja tapi gajinya kan dikit."

-bersambung-
>