SALAM 'ALAIKUM !
Dua hari lalu saya menyempatkan diri mampir ke sebuah panti pijat di Semarang. Sakit? Enggak. Capek? Dikit. Karena saya sebenernya emang suka dipijat. Biasanya saya ke Aluna Homespa, atau manggil tukang pijat langganan ke rumah. Tapi kali ini saya pengen dipijat yang bener-bener errrgghhhh. Jadilah saya ke panti pijat.
Dua hari lalu saya menyempatkan diri mampir ke sebuah panti pijat di Semarang. Sakit? Enggak. Capek? Dikit. Karena saya sebenernya emang suka dipijat. Biasanya saya ke Aluna Homespa, atau manggil tukang pijat langganan ke rumah. Tapi kali ini saya pengen dipijat yang bener-bener errrgghhhh. Jadilah saya ke panti pijat.
Dulu kesitu direkomendasiin sama Upik Rahmawati. Berhubung dia alim jadi saya percaya panti pijat yang ini nggak bakal aneh-aneh. Di luar juga terpampang banner dengan tulisan "RUANGAN MEWAH", yah..walaupun kenyataan di dalam nggak mewah-mewah amat. Jadi saya pikir mungkin tamu-tamunya orang menengah ke atas. Akhirnya sore itu untuk kesekian kalinya saya mampir.
Nggak seperti biasa, mbak-mbak terapis yang memijat saya waktu itu cukup humble dan agak ceriwis. Dia banyak cerita tentang pofesinya, suka dukanya jadi pemijat. Saya lebih suka yang kaya begini nih, dipijat sambil ngobrol. Bukan dipijat sama orang yang cemberut mulu. Hihi.
"Pulang kerja ya mbak?" tanyanya mengawali obrolan.
"Enggak mbak, lagi bolos aja ada urusan tadi."
"Ooo..kerja dimana emang?" And the blah blah blah.
Obrolan berlanjut seputar gaji. Dia cerita kalau gajinya tak tentu. Satu jam dia memijat dihargai 7.000 perak!! Can you imagine? Disitu sejam Rp 52.500, dan si pemijat dikasih 7.000 nya aja. Saya pun bertanya, "Emang sehari biasanya dapet berapa jam?" Sekitar lima atau enam, jawabnya. Dan itu dari jam sepuluh pagi sampai sepuluh malam. Wow, 12 jam kerja.
Disitu saya agak penasaran. Apa yang membuat mereka betah kerja 12 jam dengan gaji yang bisa dibilang GAK WORTH IT. "Betah gitu mbak? Nggak capek?" Pertanyaan demi pertanyaan mengalir begitu saja dari bibir saya, tanpa keengganan (gayanya udah kayak investigator haha). Dan Mbak Wita (bukan nama asli) menjawab luwes tanpa sungkan. Hingga kami terlibat obrolan yang lebih dalam, dalam, dan dalam lagi.
"Biasanya ada yang minta diituin. Trus kita dikasi tip." Ternyata mereka betah kerja disitu karena ada 'gaji-gaji siluman'.
"Atasan tau?" tanya saya penasaran.
"Ya nggak lah mbak. Disini bersih sebenernya, aturannya juga ketat. Tuh sekat-sekatnya aja bolong bawahnya. Itu sering ada yang piket lewat buat ngecek kita dari luar. Kalo kaki kita nggak keliatan suka dicurigai macem-macem."
"Lah kalo misal mbak lagi nginjek-nginjek pelanggan gimana? Kan emang kakinya nggak keliatan."
"Tuh di atas ada pegangan. Kalo lagi nginjek-nginjek, tangannya harus pegangan."
"Lah kalau kebetulan lagi mijitin yang sisi kanan, gimana hayo?"
"Ya kan paling sebentar, nggak di kanan terus. Kalo nggak keliatan kakinya sampe lama ya kadang dimasukin ruangannya."
"Pernah ada yang ketahuan?"
"Pernah. Ya terus dipecat."
Sambil menahan sakit pijatan Mbak Wita, saya mulai berpikir. "Haduh saya sekarang lagi ada di tempattt.....ah sudahlah." Sambil terus memijat kaki saya, Mbak Wita dengan lancarnya bercerita seolah membagi beban yang dipendamnya sejak lama. Saya sendiri heran. Di resepsionis, saya bilang mau dipijat yang nggak terlalu kenceng. Dan tadi waktu saya kesakitan, Mbak Wita bilang kalau dia spesialis yang tingkat kekencangannya tinggi. Yasalam.
"Yah gimana lagi Mbak. Kalo nggak gini, gaji segitu nggak masuk. Buat kehidupan sehari-hari masih kurang."
"Suaminya?"
"Suamiku kerja tapi gajinya kan dikit."
-bersambung-
"Pulang kerja ya mbak?" tanyanya mengawali obrolan.
"Enggak mbak, lagi bolos aja ada urusan tadi."
"Ooo..kerja dimana emang?" And the blah blah blah.
Obrolan berlanjut seputar gaji. Dia cerita kalau gajinya tak tentu. Satu jam dia memijat dihargai 7.000 perak!! Can you imagine? Disitu sejam Rp 52.500, dan si pemijat dikasih 7.000 nya aja. Saya pun bertanya, "Emang sehari biasanya dapet berapa jam?" Sekitar lima atau enam, jawabnya. Dan itu dari jam sepuluh pagi sampai sepuluh malam. Wow, 12 jam kerja.
Disitu saya agak penasaran. Apa yang membuat mereka betah kerja 12 jam dengan gaji yang bisa dibilang GAK WORTH IT. "Betah gitu mbak? Nggak capek?" Pertanyaan demi pertanyaan mengalir begitu saja dari bibir saya, tanpa keengganan (gayanya udah kayak investigator haha). Dan Mbak Wita (bukan nama asli) menjawab luwes tanpa sungkan. Hingga kami terlibat obrolan yang lebih dalam, dalam, dan dalam lagi.
"Biasanya ada yang minta diituin. Trus kita dikasi tip." Ternyata mereka betah kerja disitu karena ada 'gaji-gaji siluman'.
"Atasan tau?" tanya saya penasaran.
"Ya nggak lah mbak. Disini bersih sebenernya, aturannya juga ketat. Tuh sekat-sekatnya aja bolong bawahnya. Itu sering ada yang piket lewat buat ngecek kita dari luar. Kalo kaki kita nggak keliatan suka dicurigai macem-macem."
"Lah kalo misal mbak lagi nginjek-nginjek pelanggan gimana? Kan emang kakinya nggak keliatan."
"Tuh di atas ada pegangan. Kalo lagi nginjek-nginjek, tangannya harus pegangan."
"Lah kalau kebetulan lagi mijitin yang sisi kanan, gimana hayo?"
"Ya kan paling sebentar, nggak di kanan terus. Kalo nggak keliatan kakinya sampe lama ya kadang dimasukin ruangannya."
"Pernah ada yang ketahuan?"
"Pernah. Ya terus dipecat."
Sambil menahan sakit pijatan Mbak Wita, saya mulai berpikir. "Haduh saya sekarang lagi ada di tempattt.....ah sudahlah." Sambil terus memijat kaki saya, Mbak Wita dengan lancarnya bercerita seolah membagi beban yang dipendamnya sejak lama. Saya sendiri heran. Di resepsionis, saya bilang mau dipijat yang nggak terlalu kenceng. Dan tadi waktu saya kesakitan, Mbak Wita bilang kalau dia spesialis yang tingkat kekencangannya tinggi. Yasalam.
"Yah gimana lagi Mbak. Kalo nggak gini, gaji segitu nggak masuk. Buat kehidupan sehari-hari masih kurang."
"Suaminya?"
"Suamiku kerja tapi gajinya kan dikit."
-bersambung-